Hijau Pucuk

Sesudah usia tak lagi sesegar hijau pucuk Niscaya dia akan lebih tekun diberanda itu Menatap ke pintu pagar yang terbuka, Seperti kaca mata yang dilepaskan perlahan Dan diletakkannya di atas sebuah kitab Pada pagi yang bening seperti jidat bayi merangkak Seseorang pasti akan tersenyum melihatnya Yang belajar menyuapi dirinya sendiri Dengan sendok plastik kecil Yang juga bahan untuk membuat kembang lili Yang terus mekar di atas meja persegi Di depan kursi goyangnya. (Tapi bagaimana kembang ini mekar Tanpa merangkak dari putik dulu?) Kepalanyapun bergoyang –goyang tak habis fikir Bagai bandul jam peninggalan Buyutnya, Bila dulu dia tidak merangkak mendekati si pembuat Kursi goyang itu, tentu orang itu asyik saja Tanpa menghiraukan sendok kecil yang digapit Jemarinya, Dan rasa aroma rotan yang menguap ke udara itu Kini, membuat kambuh sakit kepala dan asmanya (Tapi bagaimana kembang ini mekar Tanpa menebarkan aromanya?) Si pembuat kursi goyang itu sendiri sempat Terpingkal – pingkal tertawa ketika tiba – tiba Aroma sedikit beraroma itu dulu Ternyata berasal dari sela dua kakinya Yang sekal menggemaskan “Sekokoh inilah nanti pangkuanmu Sampai – sampai para perempuan Terlelap di atasnya!” Dia hanya manggut –manggut Dengan bubur berserakan dilengkung Bibirnya, persis seperti sebuah pagi Yang beningnya sebening pucuk – pucuk Lili di depan kursi goyang yang didudukinya, Pada sebuah pagi, Ketika usia tak lagi sesegar hijau pucuk Dia ternyata jauh lebih tekun di beranda itu Menatap ke pintu pagar yang terbuka, Seperti kaca mata yang dilepaskan perlahan Dan diletakkannya di atas sebuah kitab Di atas seonggok pangkuan, Karena dingin Yang pula sudah tak tertahankan Belulang, Seakan –akan: “Sekokoh inilah nanti pangkuanmu Sampai – sampai para perempuan Terlelap di atasnya!”

Tinggalkan komentar