Sesudah usia tak lagi sesegar hijau pucuk Niscaya dia akan lebih tekun diberanda itu Menatap ke pintu pagar yang terbuka, Seperti kaca mata yang dilepaskan perlahan Dan diletakkannya di atas sebuah kitab Pada pagi yang bening seperti jidat bayi merangkak Seseorang pasti akan tersenyum melihatnya Yang belajar menyuapi dirinya sendiri Dengan sendok plastik kecil Yang juga bahan untuk membuat kembang lili Yang terus mekar di atas meja persegi Di depan kursi goyangnya. (Tapi bagaimana kembang ini mekar Tanpa merangkak dari putik dulu?) Kepalanyapun bergoyang –goyang tak habis fikir Bagai bandul jam peninggalan Buyutnya, Bila dulu dia tidak merangkak mendekati si pembuat Kursi goyang itu, tentu orang itu asyik saja Tanpa menghiraukan sendok kecil yang digapit Jemarinya, Dan rasa aroma rotan yang menguap ke udara itu Kini, membuat kambuh sakit kepala dan asmanya (Tapi bagaimana kembang ini mekar Tanpa menebarkan aromanya?) Si pembuat kursi goyang itu sendiri sempat Terpingkal – pingkal tertawa ketika tiba – tiba Aroma sedikit beraroma itu dulu Ternyata berasal dari sela dua kakinya Yang sekal menggemaskan “Sekokoh inilah nanti pangkuanmu Sampai – sampai para perempuan Terlelap di atasnya!” Dia hanya manggut –manggut Dengan bubur berserakan dilengkung Bibirnya, persis seperti sebuah pagi Yang beningnya sebening pucuk – pucuk Lili di depan kursi goyang yang didudukinya, Pada sebuah pagi, Ketika usia tak lagi sesegar hijau pucuk Dia ternyata jauh lebih tekun di beranda itu Menatap ke pintu pagar yang terbuka, Seperti kaca mata yang dilepaskan perlahan Dan diletakkannya di atas sebuah kitab Di atas seonggok pangkuan, Karena dingin Yang pula sudah tak tertahankan Belulang, Seakan –akan: “Sekokoh inilah nanti pangkuanmu Sampai – sampai para perempuan Terlelap di atasnya!”
Sang Pengunyah Tembakau
Posted in ShorTime In HeaVen on Agustus 21, 2010 by asharjunandarPatutlah dia bertahniah kepada pelaut tua itu,
yang dalam kesepian laut dan segala bentuk lekuk ombaknya
dan misterinya, diapun yang suatu ketika, yang hanya burung hering
yang mengetahui waktunya, dengan tanda tanya yang dia bawa
ke dalam peti matinya, menuliskan sepucuk surat
kepadanya:
“Kepada Saudaraku,
Karena aku sudah lebih dulu mencicipi suatu rasa
Yang diharamkan dogma manusia, dengan rahasia kutuliskan
Sisa – sisa aroma yang tertinggal di dalam benakku,
Ketika aku sudah tersadar, benar – benar tersadar
Dan kembali kepada duniaku, yang sendiri
Dan terombang – ambing dalam perjalanan menuju
Benuamu, yang jauh, di suatu daratan
Ketika aku tersesat dan terdampar karena sauh
Yang dicompang – campingkan topan,
Di suatu senja yang mungkin hanya tersaji di surga
Mereka menggotongnya dengan langkah damai
Mengarah kepadaku, tanpa basa – basi ala kita,
Manusia yang sudah merasa bermartabat dengan
Kemanusiaannya, mengaruniakan dara perawan itu
Kepadaku, dengan isyarat mereka, kumengerti akhirnya
Setelah dia rebah, dan menaburkan aromanya di sekitar
Penciumanku, yang keparat….
Seakan – akan dia berseru lewat matanya yang sayu
Dan mengundang, setubuhilah Aku diawali suatu
Proses pemamahan lidah api yang merah seperti darahmu,
Kemudian akan kau rasakan gulatan dan geliatku
Menyatu dengan darahmu, yang hidup sampai kau
Melupakan ubun – ubunmu, dan yang melahirkanmu
Dan segala yang kau bawa, dalam pengembaraanmu
Kau serahkan kepadaku”
Begitulah, kudapati diriku, di suatu pagi
Dengan jemari bergetar, menuliskan kalimat ini kepadamu
Mungkin terlalu singkat, dan aku sungguh tak tahu, hendak kupanggil
Siapa Dara dengan wajah kemerah – merahan, seperti nyala api
Yang menghabiskan nafasnya dalam ingatanku itu, tapi
Kurasakan darahku berdesir kencang, ketika kutemukan suatu nama
Yang paling tepat untuk mengenangnya dan menyampaikan kepadamu
Dalam suratku, yang mungkin akan usang, dan kau lupakan
Setelah tahu rasanya, sebagaimana aku, pelaut tua,
Yang pula renta karena apa yang senantiasa hidup dan mengembara dalam
Kepala kita, “
Patutlah dia bertahniah kepada pelaut tua itu,
yang dalam kesepian laut dan segala bentuk lekuk ombaknya
dan misterinya, diapun yang suatu ketika, yang hanya burung hering
yang mengetahui waktunya, dengan tanda tanya yang dia bawa
ke dalam peti matinya, suatu ketika, sebelum dia tahu rasa sesungguhnya
menghitung dengan jari, berapa kali mengunyahnya, berapa kali
dia sudah terkunyah olehnya, olehnya.
Surat Kepada Diri Sendiri, 1
Posted in ShorTime In HeaVen on Juli 23, 2009 by asharjunandarBila kemudian, gumpal goresan ini
yang mengiris segalanya, dan segala yang terbatun
di dadamu seperti gelepar daun aru
di semak batu, aku juga luruh. Kau tahu lidah
putri malu di ambang senja yang meradang,
begitu kejam mengiris-iris merah hati kita
sampai darah tercerai dari tetesan, seperti
kenangan kepada ingatan.
Maka aku pergi menyusup ke dalam sunyi
yang lebih gelap, ke dasar desir yang lebih
liat dan lindap. Juga yang mendenyutkan nadiku
yang rentan, dan jiwa, padang manakah yang paling
rimbun dari mereka? Bahkan tidak juga masing-
masing dari benua denyut kita. Entah, jika dengan ini surga
berkenan meluaskan pintunya, atau bila
juga kulewatkan surat ini, kutahu saat,
orang-orang yang kita kenal baik setengah
kenal kita juga, atau yang hanya menaruh
iba pada kisah hijau kita karena mereka bertelinga
dan telah berlalu cerita: kisah pengembara
yang ditinggalkan kereta malam di stasiun mimpinya.
Manusia begitu naif jika dinamai pendurhaka,
maka kutulis juga surat ini, di antara berat
air mata yang tetap kujaga di rongganya. Di antara
terang, temaram dan gelap yang purba,
hanyalah riak yang ingin kusimak,
risik-risik kecil masa benih kita yang jatuh
bagai rintik hujan, ketika mereka berkejaran di antara
langkah dan peron kereta, dan jeritan yang berulang
ulang; gema yang memanggil-manggil nama kita
dari balik kaca. Yang berdiri dan yang bersembunyi
di balik dinding batu. Layaknya barisan duri
di selintang tungkai dahan putri malu,
ketika kertas itu kau lipat, dan yang lekas
terkemas kembali adalah tumpukan baju
di balik pintu.
Lama..lama…lama, tapi kembali
Posted in Mr.Blalang In Diary on Juli 23, 2009 by asharjunandarRasanya, blalang sudah lama banget tidak menyentuh blog ini lagi, tapi entah kerinduan apa yang datang mengundang, di tempat kerja, saat yang lainnya pada sibuk sendiri dengan aktivitasnya, blalang, ingin kembali menanam sajak di blog ini, hiks…., beberapa nama telah hilang, facebook memang asik, hirup pikuk dengan bla bla bla fenomenanya, tapi, blalang rasa, ada keasyikan tersendiri untuk kembali ke secarik halaman bolg.
seperti pulang kembali ke ruang kamar sendiri yang temaram, mungkin sejenak diam, merenung, atau hanya sekedar menghela nafas, untuk kembali tenang….
Radu Negru
Posted in ShorTime In HeaVen on Mei 8, 2009 by asharjunandarSetelah cincin-cincin rantai terurai.
Kemudian putus. Dan wajah
menyeringai di balik topeng:
Segelar upacara bulan. Diam-diam, kau
tanggalkan lepah kayu. Dan menuruni
gunung. Suara siapa yang sayup-sayup
terdengar? Di balik lapis tembok tinggi retak.
Hilir pemakaman.
Dalam lapar sangar, di lorong-lorong tikus
angin terkapar. Siapa lagi yang mengejutkanmu
dengan dering kunci?
Dan perlahan mengelus pintu?
Panas utara yang mengukus tirai jendela.
Jendela kaca. Dan jari awan yang mencengkram.
Gelap. Sumur tua, dalam muak,
rapat-rapat menyumbat lubang hidungnya.
Inilah kota tanpa tuan. Gerbang
yang patah. Dan jalanan yang dikepung
semak ilalang. Persimpangan, masihkah
kau peram perempuan dan bocah
dalam kain gendongan, yang dua-duanya
kau kecup keningnya, dalam haru?
Dalam buntalan air mata, di pekarangan
belakang. Akasiakah yang hendak masih
kau tanam? Dan sepasang ayunan kayu
di dekat sudut barat pagar bunga?
Di hadapan meja dapur itu, selain termangu,
apa lagi yang ngiang di dinding kapur. Bilapun kau
dengar desis miris selinting tembakau.
Inilah kota yang tak bertuan. Dimana rindu ibu
berkhianat kepada pelukan.
Meskipun tawamu putih. Walaupun
senyummu lirih. Biarpun tangismu
perih. Dipilin angin. Di sini.
Lilinlah yang selalu mengabarkan
dingin. Dingin dinding. Merinding.
Anekdot Albuginea
Posted in ShorTime In HeaVen on April 29, 2009 by asharjunandarSekeluar surau ini, kukira. Di sanalah pasar teringar kita, pada tapal sandal yang hendak lekang. Pada tali jepitan yang mulai renggang: Apa yang tumpas atas ampas debu? Hilir mudik seseorang yang berdiri. Berujar: “Di mimbar, di mimbar….” Dan sila kita menghadap ambal: Putih yang putih sebagaimana putih. Tetaplah putih: Dinding dingin yang putih: Selepuh siar sabit ubun-ubun surau ini. Kukira di antara kita yang membeli pulut doa, lalu tungkai kaki ditimang-timang timbangan sandal bebal ini, yang paling riuh hanyalah desah yang lenguh di sela mayat daun bergelimpangan. Dalam cengap ceri matang : Camar buta meracik sarang di celah patahan dahan untuk anaknya. Pada gigir trotoar yang selumit liur, masih basah selinting hujan di pangkal paha. Dihijau kuduk perdu, angin masbuk akan terus membubus debu. Selecut mimik di luar pagar surau subuh ini, kukira mengurapi kurus tengkuk kita yang tandus. Yang kita duga: Kudus. Parau. Suara. Mengigau igau. Di luar pagar surau subuh ini.
Datos, Kapal Sutera
Posted in ShorTime In HeaVen on April 21, 2009 by asharjunandar
Sebab yang selamanya mengerling
adalah malam,
dan kau pada bingkai tetaplah Kau
yang termangu warta warna:
Selingkar lukisan kalung bermata rubi
Benua Barat. Ya, kusandarkan kapal
di celah dermaga. Dan segulung sutera
di hampar liat cermin basah:
Adakah lagi gelisah yang lebih rekah
antara redup,
dan desah yang menyusup hidup ?
Sebab yang selamanya retak
adalah malam. Digiring panah aku berburu
Dan busur yang meregangi tubuhku
Di matamu yang ombak,
tengah merumput rusa belia itu
pada tindik jendela. Kamar sekubik geladak
Kau tahu yang kau ingat sudah:
Selain desau keringat ,tak ada lagi
kemarau gerabah
Sebab yang selamanya mengerling
dalam gigil fajar memanggil
kemudian terguling, adalah malam berarak:
Ringking peluit menarik jangkar
Merangkak kapal
melayati lautan lahad gelap. Dalam bulan
retak
pada lajur-lajur angka,
yang juga tak bertapal. Matamu
yang ombak
Kenangan Pada Seonggok Pendar Kunang-Kunang
Posted in ShorTime In HeaVen on April 17, 2009 by asharjunandarOrang-orang rajim yang bergerombol atau sendiri-sendiri, yang mengacak malam karena melatai rawa likat dirinya; yang termangu bengkarung di punggung batu menakar laut seberang yang mulai memilin ujung pantai sumsum benua dadanya; yang bergegas menanak beras basah di belanga mentah; yang menancapkan pancang tenda menerka pendar unggun itu menyebar atau belum sampai ke lembah pemakaman. Seperti angin basil menuba udara, dari belukar semak aku mencuat perlahan sewajar tenggelam bulan. Kurasa mereka merasakan selintang bintang sedang turun berkenan, menciut dan bertambah ringan. Kurasa mereka terpukau pada tarian spiralku, makin tinggi mengerucut ikan, sekonyong-konyong menukik kemudi. Seperti manuver albatros, pendar tubuhku, di zona horizon kosong mereka, terbatun. Kurasa mereka menyigi rima ritualku yang benderang terkadang, tiba-tiba redup bahkan padam seperti tubuh yang hilang. Namun anginlah yang tengah menyamar udara yang paling lihai mengendus jejak, yang tak pernah setia bahkan dalam gelap, kurasa mereka menjadi kawanan anak serigala lapar dalam sarang induknya yang belum pulang. Taring mereka akan mengait dan mencabikku hidup-hidup. Di luar, gelap yang getah mengantukkan mereka dalam pori-pori uap, sedang pendarku mengenyangkan yang terpendam dalam likat rawa. Hai orang-orang rajim yang bergerombol atau sendiri-sendiri, betapa akut terang ini ingin mengunyahku, seawan bulu-bulu hitam kalian yang diam rebah, yang legam pasrah, yang malam kalah. Di sanalah, gelombang membiakkan nisan.
Kenangan Pada Segelondong Kepompong
Posted in ShorTime In HeaVen on April 8, 2009 by asharjunandarSeperti kado ulang tahun bocah, aku telah dibungkus rapat guratan pita ungu: Savonarola, oh tahniah yang indah! Bagi kaki yang mulai tegak dari rangkak, aku tergelantung nyaris di pucuk puncak, dan lantai marmer datar, hai tulang dahan: curam menikuk tajam. Kapas nian hampar padang pada seutas plasenta aku terkenang. Yang menghasutku adalah musim menyusui keriputku yang lekang: Putuskanlah! Putuskan dalam melata pengembaraan. Kuingat, ke pucuk aku telah merayap. Dalam rekat lengang punggungku menguncup sepasang sayap. Akan mekar, niscaya mekar bak bisik yang menyentil bulu mata si bocah saat guratan pita ungu mulai diuraikan, siapa yang menjelaskan rumpun warnaku, betinakah atau jantan? Oh hampar arus yang melanglang ceruk semak bulu hidungku, risik lendir angin hanya memang: Riak-riak kala yang rembang terpanggang.
Kenangan Pada Seekor Kijang Betina
Posted in ShorTime In HeaVen on April 7, 2009 by asharjunandar
Dari pintu depan ke pintu yang terbuka, dalam tiap jengkal ayunan langkah, diam-diam jeda persidangan, yang buru-buru dikunci pintu ke pintu belakang. Udara padat dan aroma keringat, dari ranjang ke ranjang panggangan dan sahutan loceng yang hingar api di minggu basah, kini akulah yang paling diburu ujung panah gelisah dalam rebah. Anggun gemulai pijakanku paling rekah, terpancar mata kaki Aphrodite masih terpejam, bagai kijang aku diintai dan dikepung. Tanduk yang bercabang menjulang. Liat daging matang menantang, dari busur melesat anak panah dada mereka yang terguncang-guncang raungan lonceng parau di minggu basah. Kabar musim gugur mengguyur ranting belumlah terdengar pucuk rerumputan. Dan aku dalam kawanan malam: Delapan belas piala kabisat yang tinggi-tinggi diacungkan.